Saat Perayaan Jumat Agung, sebagian dari bacaan Injil hari itu mengisahkan pengadilan Yesus di hadapan Gubernur Pontius Pilatus. Ada satu tokoh yang muncul namun jarang dibahas, yakni istri Pilatus. Istri Pontius Pilatus adalah tokoh tak bernama dalam Perjanjian Baru, yang hanya muncul dalam sebuah ayat tunggal dari Injil Matius. Menurut Matius 27:19, ia mengirim sebuah pesan kepada suaminya yang memintanya agar tidak mencelakai Yesus Kristus. Pilatus tidak menggubris peringatan istrinya.
Namun istri Pilatus disebut jelas dalam apokrifa Injil Nikodemus (diyakini ditulis sekitar pertengahan abad ke-4), yang memberikan versi lebih mendalam dari bagian mimpi tersebut ketimbang Injil Matius.
Istri Pontius Pilatus itu dalam tradisi sering disebut bernama Claudia Procula atau hanya disebut Claudia. Sejauh yang bisa ditelusuri, Claudia Procula dinyatakan martir oleh Gereja Ortodoks Yunani, Gereja Koptik, dan Gereja Etiopia dan diperingati setiap tanggal 27 Oktober atau 25 Juni. Gereja-gereja ini mempercayai bahwa setelah peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus, Claudia menjadi pengikut Jalan Tuhan serta dibunuh menjadi martir karena imannya itu. Maka mereka menghormatinya, bahkan cukup tersebar pula ikon tentang dia.
Dialog imajiner antara Pilatus dan istrinya, Claudia di bawah ini mungkin dapat membantu memahami siapa Claudia:
Tersebutlah, Pontius Pilatus gundah gulana setelah ternyata tidak bisa mengubah dakwaan Imam Agung Kayafas atas Yesus. Dia diancam akan diadukan ke kaisar Roma jika berani membebaskan Yesus. Terlebih, sebelumnya, istrinya, Claudia, telah mengingatkan untuk tidak mempersulit orang Nazaret itu. Claudia diganggu mimpi buruk mengenai Yesus, yang belum dikenalnya itu.
Pilatus: Hoii... ngapain kau di sini?
Febry: (gemetaran) Nggak, Bos... Cuma nyapu.
Claudia: Biarkan saja, dia tukang sapu baru... anak ini baik kok.
Claudia: Sekarang kau sudah puas. Kau sama sekali tidak mengindahkan kecemasan saya berkaitan dengan mimpi itu. Saya memang tidak tahu politik. Tapi kiranya cukup tahu bahwa seseorang boleh dihukum kalau kesalahannya benar-benar dapat dibuktikan.
Pilatus: Aduh, tahu apa kamu tentang benar-salahnya seseorang dalam dunia politik. Kau mimpi buruk dan percaya begitu saja seperti kaum wanita umumnya, lalu campur-adukkan mimpi dengan masalah terdakwa bernama Yesus itu. Mungkin kau makan terlalu kenyang di malam itu. Orang yang tidur dengan perut terlalu kenyang selalu bermimpi buruk.
Claudia: Lebih baik bermimpi buruk daripada menjatuhkan hukuman yang buruk. Atau kau ingin mengelabui mata saya dengan mengatakan bahwa Yesus itu betul-betul pemberontak dan ancaman bagi Roma?
Pilatus: Bukan dia yang menjadi ancaman sesungguhnya, melainkan Mahkamah Agama dan antek-anteknya. Kalo saya membebaskan Yesus, saya akan menjadi musuh mereka, dan keonaran akan terjadi. Mau tak mau, satu orang harus dikorbankan untuk menjamin ketentraman. Tugas saya adalah menjaga perdamaian.
Claudia: Kedamaian dalam ketidakadilan? Ini justru keluar dari mulut seorang yang ditunjuk Roma untuk menjamin kebenaran?
Pilatus: Sudah, sudah! Saya benci kata-kata muluk. Apa itu kebenaran? Apa artinya keadilan? Keadilan berfungsi menjaga peraturan, ketenangan, dan kedamaian. Ini yang saya patuhi.
Claudia: Saya tidak mengerti kamu ini. Tadinya engkau berniat membebaskannya. Mengapa lalu berubah?
Pilatus: Syukurlah kalo engkau juga melihatnya. Tapi, dalam rentetan proses itu timbul soal baru terutama berkaitan dengan rencana para imam untuk mengajukan kasus ini ke kekaisaran. Hal itulah yang menciutkan niat saya untuk membebaskan Yesus.
Claudia: Niatmu itu setengah hati. Kau pakai amnesti Paskah untuk melepaskannya. Tapi mereka lebih menghendaki pembebasan Barabas yang jelas-jelas pemberontak. Hanya saja, engkau tidak tulus sehingga sidang itu diakhiri dengan tindakan mencuci tangan, menyatakan Yesus tak bersalah, seraya mengatakan: “Ambillah dia dan buatlah seturut kehendak kamu!” Apa artinya itu? Menyatakan orang tak bersalah tetapi menyerahkannya untuk dihukum sesuka hati?
Pilatus: Aduhhh, coba tenangkan dulu hatimu dan berpikir waraslah. Mereka membawa Yesus kepada saya dan mengatakan bahwa dia menghasut rakyat untuk melawan kaisar. Saya mengadili terdakwa itu dan ternyata dia adalah seorang guru yang saleh dan ajarannya tidak menentang Roma. Oleh karena saya ingin membebaskannya...
Claudia: Ya untuk itu, engkau bisa dan berkuasa....
Pilatus: Jangan potong pembicaraanku! Tetapi pada saat yang sama, pembebasannya potensial menyebabkan huru-hara. Oleh sebab itu saya mengambil keputusan lain. Bisa dilihat sendiri, akhirnya adalah kedamaian di tanah Yudea. Seandainya kuputuskan pembebasannya, dan terjadi kerusuhan, bukankah kita juga yang dipersalahkan? Halal bukan, menumpahkan darah satu orang demi perdamaian umum?
Claudia: Saya sama sekali tidak mengerti soal itu.
Pilatus: Makanya kamu tak usah banyak omong. Saya diutus ke Yudea bukan atas nama kepentingan pribadi sebagai sarjana filsafat atau pakar moral. Saya ada di sini untuk menjamin dan melindungi kepentingan Roma.
Claudia: Jadi engkau cemas akan posisimu ketika engkau menyerahkan Yesus?
Pilatus: Lho, jangan putar balikkan perkataan saya. Yang mau saya katakan ialah, dalam pertimbangan mengenai kepentingan orang Roma, Yesus tidak dapat diselamatkan. Pada dasarnya hukuman mati atas Yesus dijatuhkan bukan oleh saya, melainkan oleh Sanhedrin. Saya hanya tidak dapat mengubahnya. Itu saja pointnya.
Claudia: Lebih gentleman katakan saja bahwa engkau tidak ingin terlibat dalam peristiwa itu. Melepas tanggung jawab!
Pilatus: Semua kondisi harus diperhitungkan dalam permainan politik. Kalau mau berkecimpung dalam dunia politik, harus sanggup menjalin hubungan. Berpolitik bukan berarti bermimpi di alam hampa.
Claudia: Bukankah tujuan dari politik adalah mengamalkan keadilan dan kebenaran?
Pilatus: Jangan banyak omong lagi, dungu! Coba tunjukkan, adakah contoh dalam sejarah politik di mana seorang penguasa di tanah jajahan mengorbankan diri demi membebaskan seorang pengembara saleh di daerah itu? SAMA SEKALI TIDAK ADA!!!!
(Pembicaraan berakhir. Claudia berlalu tanpa berkomentar lebih jauh. Saya mengikutinya sambil mematikan perekam yang kupakai untuk mengabadikan pembicaraan mereka)
[Diolah kembali dari karya imajiner Lianto]
Catatan kecil
Jakarta, 27 Maret 2024
📝 Febry Silaban